Hari ini mengantar umi ke pasar kota beli peralatan rumah tangga.
Sebentar. Karena kami memang g suka basa-basi. Kalo beli sesuatu, bilang, kalo bisa ditawar kalo g bisa ya udah langsung bayar.
Di waktu kunjungan kami di toko yang sebentar itu, aku menyaksikan sebuah frame yang menarik, menurutku.
Aku mengamati sekeliling dari awal kami hinggap di toko itu. Majikan, pelayan, pembeli... hehem, kata mbak Darni, salah satu teman, mengamati sekeliling itu merupakan hobiku ketika aku sampai di suatu tempat. Trus, dari mbak Darni juga, aku itu diam, tetapi mataku mengatakan bahwa otakku sedang memikirkan buanyak hal. pikiran yang menerawang jauh, begitu kira-kira. Lebih lanjut, senyumku katanya menimbulkan banyak pertanyaan. hehe, kaya Monalisa.
Eh, sebentar. Tau nggak, kenapa lukisan Monalisa menjadi fenomenal. Itu karena ada 'rayuan' di dalamnya. Kalo menurut "in persuit of elegace" sebuah buku karangan Matthew E May, Seduction, atau 'rayuan' adalah salah satu hal untuk membuat sesuatu itu menjadi elegan. Ada empat hal dalam buku itu. Mungkin suatu saat akan aku bagi untuk pembaca, someday, semoga.
(Eh, maksudku, bukan berarti senyumku mengandung rayuan lho ya...)
Seduction dalam buku itu dimaksudkan ketertarikan manusia terhadap misteri, keinginan tahuan manusia terhadap puzzle yang tidak lengkap. Dan keinginan manusia untuk berusaha melengkapi misteri tersebut.
Kita cukupkan dulu elegannya.
Seorang anak kecil, mungkin adalah anak sang majikan (karena aku nggak pernah tanya), datang mendekat ibunya kemudian menyodorkan sebuah lolipop yang masih terbungkus dengan maksud minta tolong untuk dibukakan plastik pembungkus itu. Mendapati lolipopnya siap diemut, ia pun lari ke lorong pasar, entah kemana tujuannya.
Dan beberapa saat kemudian...
Ia datang dalam keadaan menangis, duduk di lantai, dan teriak-teriak. Lolipopnya jatuh di suatu tempat yang aku nggak tau itu.Hal itu pun menarik perhatian beberapa orang, termasuk aku. Kalo mereka, ibuknya, pelayan, dan pembeli tertarik untuk bagaimana menemukan solusi untuk membuatnya berhenti menangis dan berteriak-teriak, aku lebih tertarik untuk mengamati apa yang akan mereka lakukan untuk menangani satu anak kecil yang mungkin baru berusia 4 atau 5 tahun itu.
sang pelayang yang setia bertanya, "Kenapa itu, bu?"
ibunya menjawab,"Permennya jatuh?"
Sang ibu yang kelihatan nggak suka banyak berkata-kata, menarik sang anak untuk menggendongnya walau sang anak meronta-ronta menolak.
"jatuh dimana?", sang pelayan tanya.
"di sana, tempat dolan dia tadi" ibunya menjawab
seorang pembeli tertarik untuk ikut dalam percakapan. "Mbok dibelikan lagi. Kasihan. Harganya po mahal to?"
"tujuh ribu" sang ibu menjawab
"Yo mbok dibelikan to, bu. Belinya dimana to? " lanjut sang pembeli
"Di solo" sang ibu jawab
"Lha yo adoh men" (jauh amat), komentar sang pembeli
"diambil aja, trus dicuci" sang pelayan mencoba menawarkan solusi
kemudian, seseorang datang, mungkin tante si anak kecil tadi, ternyata ia yang menyertai 'pengembaraan' anak itu sampai terjadi 'tragedi' jatuhnya lolipop.
Ia pun di sidang.
"Lha kog bisa jatuh ki piye?" tanya sang pelayan
"mbok kapakne mau?" (kamu apakan?), lanjutnya
"Aku nggak ngapa-ngapain kog, wong permennya jatuh sendiri, aku nggak nyenggol" jawabnya membela diri.
Ibuknya terus menarik anaknya yang makin teriak-teriak untuk duduk di atas kursi. Sang anak tetap meronta. Lalu, dipaksalah sang anak, diangkat disembunyikan di balik kasir, mungkin biar nggak dilihat orang karena memalukan barang kali. Ibu muda, yang mungkin itu adalah anak pertamanya, melakukan itu tanpa banyak kata.
Lalu, kami pun harus segera pergi karena transaksi jual beli sudah selesai.
Saat mengambil beberapa langkah meninggalkan tempat itu, masih terdengar sang pelayan dan pembeli tadi masih membahas solusi untuk anak itu.
sang pelayan masih tertarik dengan teori mengambil dan mencuci-nya, sedangkan pembeli masih kekeh dengan membelikannya lagi, tapi sadar bahwa tempatnya tidak dekat.
Dalam perjalanan menuju jupiter biru, aku bilang sama umi.
"Masalahnya bukan pada lolipopnya. Tetapi, bahwa anak itu perlu diajari untuk menerima kenyataan"
memang kadang-kadang aku suka berbicara sama umi dengan nada kayak 'pembicara', hehe..
"wong jenenge wong tuwo. Sing penting piye carane anake meneng" (namanya juga orang tua, yang penting bagaimana membuat anaknya diam)", komentar umi.
Sebuah pelajaran hari ini. Dan aku ingin berbagi.
Banyak pertanyaan yang kebanyakan adalah pernyataan nggak terima-ku melihat Kebanyakan orang tua menghadapi anaknya.
(semoga kalimatnya mudah dipahami. Karena, Aku kalo cerita, aku ketik aja, nggak suka edit-editan walo aku tahu banyak yang salah, biar original, hehe..)
ketika anak jatuh, kenapa lebih suka menyalahkan kodok dari pada bilang, "ya, berarti besok kalo lari-lari adek hati-hati ya!"
bukankah itu membuatnya belajar mencari kambing hitam?
bekankan mengajaknya belajar untuk belajar dari kesalahan dan memperbaiki diri itu lebih baik...
ketika anak mengadu di'nakali' kakaknya, kenapa lebih suka menjanjikan untuk membalaskan dendamnya dari pada bilang, "Nggak ada yang nakal, kakak itu nggak nakal, kakak itu cuma pengen disayang, coba kakak disayang dulu"
bukankah itu membuatnya belajar balas dendam dan tak mau disalahkan?
bukankah mengajaknya belajar melihat sesuatu dengan pandangan yang positif itu lebih baik...
ketika anak menangis karena kehilangan sesuatu, kenapa lebih suka berusaha mencarikan gantinya dengan kerasnya dari pada membuatnya belajar mengerti dan memahami arti kehilangan dan kekecewaan.
bukankah itu membuatnya belajar untuk tidak menerima kenyataan dan menyalahkan keadaan?
bukankan mengajaknya belajar mengerti dan memahami arti kehilangan dan kekecewaan itu lebih baik...
ketika anak merengek meminta sesuatu, lebih suka mencari cara bagaimana supaya keinginan itu hilang ketika tidak bisa memenuhi, ato mencari cara bagaimana memenuhinya walo keadaan orang tua sedang tidak mudah untuk memenuhinya
dan banyak hal lain...
bukankan itu membuatnya memupuskan harapan, dan memaksakan kehendak serta acuh terhadap keadaan?
bukankah mengajaknya belajar memahami dunia yang tak selalu seindah keinginannya
mengajaknya belajar peka terhadap keadaan sekitarnya adalah lebih baik...
Anak memang harta yang sangat berharga. Membahagiakannya adalah wajib bagi orang tua. Namun, hal itu tidak serta merta menghalalkan untuk mengajarkan hal yang justru merugikan masa depannya.
Mari kita sadari bahwa yang kita lakukan pada mereka sekarang (saat mereka masih kecil serta dalam perjalanan hidupnya) adalah referensi bagi segala tindakan mereka di masa yang akan datang. Anak kecil bukan makhluk yang dengan mudah bisa dibohongi, bukan makhluk yang dianggap kecil segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Mereka adalah pembelajar sejati, sungguh urusan dengan mereka adalah urusan yang besar.
So, jangan main-main dengan anak kecil ...
hem..
Yuk, belajar menjadi orang tua yang baik bagi anak-anak kita.
cukup dengan satu alasan, karena kita SAYANG pada mereka.
Semoga beramanfaat...
(jum'at/5Agustus2011)
Sebentar. Karena kami memang g suka basa-basi. Kalo beli sesuatu, bilang, kalo bisa ditawar kalo g bisa ya udah langsung bayar.
Di waktu kunjungan kami di toko yang sebentar itu, aku menyaksikan sebuah frame yang menarik, menurutku.
Aku mengamati sekeliling dari awal kami hinggap di toko itu. Majikan, pelayan, pembeli... hehem, kata mbak Darni, salah satu teman, mengamati sekeliling itu merupakan hobiku ketika aku sampai di suatu tempat. Trus, dari mbak Darni juga, aku itu diam, tetapi mataku mengatakan bahwa otakku sedang memikirkan buanyak hal. pikiran yang menerawang jauh, begitu kira-kira. Lebih lanjut, senyumku katanya menimbulkan banyak pertanyaan. hehe, kaya Monalisa.
Eh, sebentar. Tau nggak, kenapa lukisan Monalisa menjadi fenomenal. Itu karena ada 'rayuan' di dalamnya. Kalo menurut "in persuit of elegace" sebuah buku karangan Matthew E May, Seduction, atau 'rayuan' adalah salah satu hal untuk membuat sesuatu itu menjadi elegan. Ada empat hal dalam buku itu. Mungkin suatu saat akan aku bagi untuk pembaca, someday, semoga.
(Eh, maksudku, bukan berarti senyumku mengandung rayuan lho ya...)
Seduction dalam buku itu dimaksudkan ketertarikan manusia terhadap misteri, keinginan tahuan manusia terhadap puzzle yang tidak lengkap. Dan keinginan manusia untuk berusaha melengkapi misteri tersebut.
Kita cukupkan dulu elegannya.
Seorang anak kecil, mungkin adalah anak sang majikan (karena aku nggak pernah tanya), datang mendekat ibunya kemudian menyodorkan sebuah lolipop yang masih terbungkus dengan maksud minta tolong untuk dibukakan plastik pembungkus itu. Mendapati lolipopnya siap diemut, ia pun lari ke lorong pasar, entah kemana tujuannya.
Dan beberapa saat kemudian...
Ia datang dalam keadaan menangis, duduk di lantai, dan teriak-teriak. Lolipopnya jatuh di suatu tempat yang aku nggak tau itu.Hal itu pun menarik perhatian beberapa orang, termasuk aku. Kalo mereka, ibuknya, pelayan, dan pembeli tertarik untuk bagaimana menemukan solusi untuk membuatnya berhenti menangis dan berteriak-teriak, aku lebih tertarik untuk mengamati apa yang akan mereka lakukan untuk menangani satu anak kecil yang mungkin baru berusia 4 atau 5 tahun itu.
sang pelayang yang setia bertanya, "Kenapa itu, bu?"
ibunya menjawab,"Permennya jatuh?"
Sang ibu yang kelihatan nggak suka banyak berkata-kata, menarik sang anak untuk menggendongnya walau sang anak meronta-ronta menolak.
"jatuh dimana?", sang pelayan tanya.
"di sana, tempat dolan dia tadi" ibunya menjawab
seorang pembeli tertarik untuk ikut dalam percakapan. "Mbok dibelikan lagi. Kasihan. Harganya po mahal to?"
"tujuh ribu" sang ibu menjawab
"Yo mbok dibelikan to, bu. Belinya dimana to? " lanjut sang pembeli
"Di solo" sang ibu jawab
"Lha yo adoh men" (jauh amat), komentar sang pembeli
"diambil aja, trus dicuci" sang pelayan mencoba menawarkan solusi
kemudian, seseorang datang, mungkin tante si anak kecil tadi, ternyata ia yang menyertai 'pengembaraan' anak itu sampai terjadi 'tragedi' jatuhnya lolipop.
Ia pun di sidang.
"Lha kog bisa jatuh ki piye?" tanya sang pelayan
"mbok kapakne mau?" (kamu apakan?), lanjutnya
"Aku nggak ngapa-ngapain kog, wong permennya jatuh sendiri, aku nggak nyenggol" jawabnya membela diri.
Ibuknya terus menarik anaknya yang makin teriak-teriak untuk duduk di atas kursi. Sang anak tetap meronta. Lalu, dipaksalah sang anak, diangkat disembunyikan di balik kasir, mungkin biar nggak dilihat orang karena memalukan barang kali. Ibu muda, yang mungkin itu adalah anak pertamanya, melakukan itu tanpa banyak kata.
Lalu, kami pun harus segera pergi karena transaksi jual beli sudah selesai.
Saat mengambil beberapa langkah meninggalkan tempat itu, masih terdengar sang pelayan dan pembeli tadi masih membahas solusi untuk anak itu.
sang pelayan masih tertarik dengan teori mengambil dan mencuci-nya, sedangkan pembeli masih kekeh dengan membelikannya lagi, tapi sadar bahwa tempatnya tidak dekat.
Dalam perjalanan menuju jupiter biru, aku bilang sama umi.
"Masalahnya bukan pada lolipopnya. Tetapi, bahwa anak itu perlu diajari untuk menerima kenyataan"
memang kadang-kadang aku suka berbicara sama umi dengan nada kayak 'pembicara', hehe..
"wong jenenge wong tuwo. Sing penting piye carane anake meneng" (namanya juga orang tua, yang penting bagaimana membuat anaknya diam)", komentar umi.
Sebuah pelajaran hari ini. Dan aku ingin berbagi.
Banyak pertanyaan yang kebanyakan adalah pernyataan nggak terima-ku melihat Kebanyakan orang tua menghadapi anaknya.
(semoga kalimatnya mudah dipahami. Karena, Aku kalo cerita, aku ketik aja, nggak suka edit-editan walo aku tahu banyak yang salah, biar original, hehe..)
ketika anak jatuh, kenapa lebih suka menyalahkan kodok dari pada bilang, "ya, berarti besok kalo lari-lari adek hati-hati ya!"
bukankah itu membuatnya belajar mencari kambing hitam?
bekankan mengajaknya belajar untuk belajar dari kesalahan dan memperbaiki diri itu lebih baik...
ketika anak mengadu di'nakali' kakaknya, kenapa lebih suka menjanjikan untuk membalaskan dendamnya dari pada bilang, "Nggak ada yang nakal, kakak itu nggak nakal, kakak itu cuma pengen disayang, coba kakak disayang dulu"
bukankah itu membuatnya belajar balas dendam dan tak mau disalahkan?
bukankah mengajaknya belajar melihat sesuatu dengan pandangan yang positif itu lebih baik...
ketika anak menangis karena kehilangan sesuatu, kenapa lebih suka berusaha mencarikan gantinya dengan kerasnya dari pada membuatnya belajar mengerti dan memahami arti kehilangan dan kekecewaan.
bukankah itu membuatnya belajar untuk tidak menerima kenyataan dan menyalahkan keadaan?
bukankan mengajaknya belajar mengerti dan memahami arti kehilangan dan kekecewaan itu lebih baik...
ketika anak merengek meminta sesuatu, lebih suka mencari cara bagaimana supaya keinginan itu hilang ketika tidak bisa memenuhi, ato mencari cara bagaimana memenuhinya walo keadaan orang tua sedang tidak mudah untuk memenuhinya
dan banyak hal lain...
bukankan itu membuatnya memupuskan harapan, dan memaksakan kehendak serta acuh terhadap keadaan?
bukankah mengajaknya belajar memahami dunia yang tak selalu seindah keinginannya
mengajaknya belajar peka terhadap keadaan sekitarnya adalah lebih baik...
Anak memang harta yang sangat berharga. Membahagiakannya adalah wajib bagi orang tua. Namun, hal itu tidak serta merta menghalalkan untuk mengajarkan hal yang justru merugikan masa depannya.
Mari kita sadari bahwa yang kita lakukan pada mereka sekarang (saat mereka masih kecil serta dalam perjalanan hidupnya) adalah referensi bagi segala tindakan mereka di masa yang akan datang. Anak kecil bukan makhluk yang dengan mudah bisa dibohongi, bukan makhluk yang dianggap kecil segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Mereka adalah pembelajar sejati, sungguh urusan dengan mereka adalah urusan yang besar.
So, jangan main-main dengan anak kecil ...
hem..
Yuk, belajar menjadi orang tua yang baik bagi anak-anak kita.
cukup dengan satu alasan, karena kita SAYANG pada mereka.
Semoga beramanfaat...
(jum'at/5Agustus2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar